Di antara bisingnya suara roda besi beradu dengan rel kereta api Mita menekan
berulang ulang tombol yang ada di telepon genggam mungilnya. Sinyal buruk
karena lokasi yang terhalang pegunungan membuat Mita harus bekerja keras
untuk menghubungi rumah. Setelah nada sambung terdengar , jawaban yang
diperoleh selalu sama , “ Mbak, mas Dino belum pulang, handphonenya ditinggal di
rumah, Mbak Mita gak ada yang bisa jemput, Mbak Mita hati hati ya nanti di jalan”,
suara mbok Sarti di seberang sana terdengar penuh kekhawatiran.
Dengan kesal Mita menutup telpon genggamnya , ia merasakan kegelisahan itu,
sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 01.00 pagi hari sebentar lagi keretanya
akan tiba di kabupaten tujuan, dan tidak ada seorang pun yang akan
menjemputnya. Dino adik satu satunya , sudah diminta untuk menjemputnya dan
kemungkinan besar Dino lupa, Mita hapal benar dengan sifat Dino yang acuh dan
susah diatur, Semenjak Dino tinggal dan berkuliah di kabupaten yang sama
dengannya, Dino selalu saja membuat ulah, dari pulang larut malam tanpa kabar,
pulang dalam keadaan mabuk, hingga berhari hari pergi tanpa penjelasan. Mita
sudah berkali kali menasihatinya tapi Dino hanya menjawab “ Gak usah sok ngatur
deh!” Kalau sudah begitu Mita hanya bisa menghela napas panjang, dan setiap kali
ia putus asa menghadapi Dino, Mita selalu mengeluarkan uneg uneg di hati kepada
kedua orang tuanya yang tinggal di Jakarta. Orang tuanya pasti menegur Dino, biasanya
Dino akan menurut selama 3 hari saja kemudian kembali acuh.
Mita dan Dino memang hanya tinggal berdua plus mbok Sarti di rumah peninggalan
kakek nenek mereka, mbok Sarti adalah orang yang dipasrahi untuk merawat rumah
tersebut semenjak meninggalnya kakek nenek mereka karena mbok Sarti sudah
membantu berpuluh puluh tahun di sana. Mita sendiri baru menjalankan tugas dokternya
di kabupaten itu selama 1 tahun dan Dino baru berkuliah 6 bulan yang lalu.
……………………………
Semakin dekat kearah stasiun Mita kembali menekan telepon genggamnya , jawaban
mbok Sarti selalu sama. Kepasrahan pun akhirnya datang , apapun yang terjadi,
terjadilah, “ Aku naik becak saja , kalau tukang becaknya macam macam aku akan
loncat dan berlari” sebersit pikiran menenangkan hati mulai disusunnya.
Sesampai di stasiun Mita meluruskan pandang , mengubah mimik muka
meyakinkan seolah olah sedang menunggu jemputan supaya tidak didekati taksi gelap
dan orang orang yang bermaksud jahat. Setelah berjalan melewati pintu keluar, Mita
sampai pada ujung stasiun, ia kembali menetapkan tekad “ kalau ada tukang becak
pertama yang menawariku aku akan langsung naik dan semoga tukang becak itu
kiriman Tuhan” Tukang becak pertama yang ditemuinya bertopi, berambut
pendek, dan menawarkan dengan penuh kesopanan tidak memaksa, tanpa pikir
panjang untuk menawar Mita langsung menaikkan koper hijaunya ke atas becak
sembari menyebutkan alamat rumah“ jalan
Melati pak”
Pepohonan dengan daunnya yang rimbun melambai lambai sepanjang jalan seperti
hendak memberikan ucapan selamat datang kembali , sampah sampah dedaunan
berbunyi gemerisik terlindas ban becak. Mita mengawasi jalanan kosong yang
manusianya sudah terlelap di peraduan masing masing.
Dengan sopan Mita meminta tukang becak menutup bagian depan becak dengan
plastik, Mita hanya ingin supaya ia tidak terlalu mencolok terlihat dari luar karena
sepanjang jalan menuju kerumahnya adalah jalan rawan yang penuh dengan
perampok, pemabuk, dan penjudi ia hanya berharap tidak bertemu satupun dengan
mereka, meskipun sebenarnya ia agak merinding mengingat peristiwa sebulan
lalu biarawati ditodong di jalanan ini. Becak di kayuh dalam keheningan, hanya
suara napas tukang becak saja yang terdengar saat jalan sudah mulai menanjak
karena ia harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk mengayuh. Setelah menempuh
perjalanan sekitar 45 menit, yang dirasakan bertahun tahun, sampailah Mita di
depan rumah, mbok Sarti yang sedari tadi mengintip keluar , langsung membukakan
pintu .
Dengan kelegaan yang mendalam Mita memberikan sejumlah uang kepada tukang
becak yang sama sekali tidak ada niat bermacam macam dengan dirinya, tukang
becak itu menerima uang tersebut dan mengucapkan terimakasih “ Terimakasih bu
dokter” Mita terkejut mendengar tukang becak itu mengenali dirinya seorang
dokter, dengan seksama Mita meneliti wajah bertopi di depannya dan kemudian ia
tersenyum “ Terimakasih kembali Pak” ia ingat wajah itu.
Masih dengan
tersenyum Mita masuk ke kamar , saat membereskan isi koper hijau
nya Mita mengingat kembali kejadian 1 tahun lalu ketika awal ia bekerja di
sini, saat itu ada proyek sosial di rumah sakit tempat ia bekerja dengan
mengadakan kunjungan gratis ke rumah pasien tidak mampu yang penyakitnya
sudah sangat parah dan tidak dapat datang berobat. Target Mita dan perawat yang
mendampinginya adalah Ibu Painah yang menderita kanker paru paru dan
penyakitnya ini sudah mengurangi lebih dari setengah fungsi dari paru paru yang
seharusnya , untuk perawatan intensif dengan biaya mahal tentu tidak mungkin
ditambah lagi dengan komplikasi yang sudah mengenai seluruh organ di tubuhnya.
Mita melakukan kunjungan seminggu sekali selama 3 minggu berturut turut dan
pada minggu ke 4 akhirnya ibu Painah meninggal karena kondisinya yang
memang sudah sangat parah.
Pada kunjungan pertamanya saja sebenarnya Mita sudah khawatir bahwa kondisi
ibu Painah sulit untuk bertahan lama, dilihat dari badannya yang sudah begitu
kurus kering hanya tulang dibalut kulit yang sudah mengeriput. Ibu Painah hanya
bisa berbaring di tempat tidur reyot yang penuh dengan lalat. Rumah ibu Painah
hanya sepetak ruang kosong yang tidak bersekat, dia tinggal bersama suami dan
kedua anak laki lakinya. Satu anak lelakinya bekerja sebagai satpam di sebuah
perkantoran dan anaknya yang satu lagi seorang pengangguran putus sekolah.
Suami ibu Painah adalah seorang pria berambut gondrong berperawakan kasar, selama
tiga kali kunjungan , Mita hanya sekali saja bertemu dengan suami ibu Painah.
Menurut cerita tetangga kiri kanan Mita tahu bahwa suami Ibu Painah
yang bernama Pak Sarjo itu adalah seorang tukang becak yang sering pulang larut
malam bahkan tidak pulang dan sering menghabiskan waktunya di jalan untuk
berjudi dan bersenang senang. Mita pernah berusaha mengajak suami Ibu Painah
untuk membicarakan kondisi Ibu Painah yang sangat membutuhkan perhatian
keluarga tapi hanya ditanggapi dengan dingin dan acuh. Sampai akhirnya saat Ibu
Painah meninggal, dan jenazahnya dibawa ke Gereja untuk Misa Requiem , Mita
melihat suami Ibu Painah terpekur diam duduk di bangku depan gereja dekat
dengan peti jenazah, ada setitik air mata tergenang di matanya.
Mita tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Pak Sarjo. Seminggu berselang Mita
mulai agak mengerti apa yang dipikirkan Pak Sarjo setelah melihatnya di gereja
sendirian mengikuti misa minggu pagi dengan khusyuk dan dengan penampilan
yang berbeda , rambut gondrongnya sudah tercukur rapi. Tidak hanya minggu itu saja
tapi minggu minggu sesudahnya, hati Mita begitu terharu melihat apa yang
dilakukan Pak Sarjo, “ Apakah hatinya menyesal setelah kepergian istrinya?”
“Apakah dia sudah mulai bertobat kembali ke jalan Tuhan dan takut akan Tuhan
yang memiliki semua nyawa manusia?” Setiap Mita melihat Pak Sarjo jika
kebetulan jadwal misa mereka sama, Mita mengucapkan syukur yang sedalam
dalamnya kepada Tuhan atas campur tanganNya untuk membuat orang kembali ke
jalanNYa meskipun harus melalui cara penyesalan yang terlambat dan
menyakitkan sekalipun.
……………….
Mita terhenyak dari lamunannya, koper hijau nya sudah kosong, semua barang yang
tadinya memenuhi koper sudah ditatanya rapi di dalam lemari, ia melirik jam sudah
menunjukkan pukul 04.00 pagi, dia butuh tidur sebentar karena jam 06.00 dia
sudah harus bangun kembali untuk bersiap siap dinas ke rumah sakit. Sebelum
memejamkan mata, Mita berdoa dalam hati “ Ya Tuhan, semoga Engkau sudi juga
menyentuh hati Dino untuk kembali ke jalanMu tanpa harus melalui penyesalan
yang terlambat dan menyakitkan.”